Trimakasih Sahabatku
Punya teman adalah hal yang biasa, tapi menjadikannya seorang sahabat
itu luar biasa. Sahabat adalah keperluan jiwa, yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang ditaburi dengan kasih dan dituai dengan penuh
rasa terima kasih, karena sahabat adalah naungan dan pendianganmu. Namun
sahabat bukan sekedar sahabat, kita senantiasa mencarinya untuk bersama
menghidupkan sang waktu, bukan mencarinya untuk sekedar bersama dalam
membunuh waktu. Dialah sahabat yang mengisi kekurangan kita, bukan
mengisi kekosonganmu dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada
tawa riang dan kegembiraan.Dialah sang sahabat yang pernah aku temui, yang setia dari dulu hingga sekarang aku telah menginjak bangku SMA. Senang rasanya punya sahabat yang punya segudang ilmu sepertinya. Namun, aku hanya bisa bertemu dengan sang sahabat ketika di sekolah saja, kami tidak pernah sekali pun melakukan komunikasi saat di rumah, tapi itu semua tak membuat persahabatan kami menjadi renggang.
“Aku ingin sekali melihat indahnya negeri Nagasaki, Jepang.” gerutuku pada sahabat.
“Kamu mau ke Jepang?” tanya sang sahabat.
“Aku mau sekaliii.. Aku ingin pergi bersamamu.” jawabku.
“Jangankan Jepang, aku akan membawamu keliling dunia.” Jawab sang sahabat.
Itulah kata sang sahabat padaku di suatu siang saat aku sedang bersama sang sahabat.
Malam semakin larut, seisi rumahku sudah sedari tadi tertidur pulas, namun aku tak kunjung merasakan beratnya menahan kantuk ku raih buku yang tadi siang dipinjamkan sahabatku. “Pesona Bawah Laut NTT.” Sang sahabat banyak meminjamkan bukunya untukku tentang keberagaman Indonesia. Dan kini sang sahabat kembali meminjamkan buku tentang pulau Raja Komodo.
Ku buka buku itu lembar demi lembar, ku cermati gambar demi gambar, ku baca dengan tenang dan perlahan setiap katanya hingga aku merasa seakan benar-benar berada di sana. Namun tiba-tiba, ding, dung, ding, dung suara itu membuatku kaget dan sontak terbangun. Alarm si biang keroknya. Namun, aku kaget bukan kepalang saat ku lihat jam telah menunjukkan pukul 7 pagi. Ternyata semalam aku ketiduran saat membaca buku dari sahabatku. Aku bergegas mandi dan segera berangkat ke sekolah.
Sialnya aku hari ini. Sudah bangunnya kesiangan, telat masuk kelas, dihukum guru mapel lagi. Aduh lengkap sudah penderitaanku hari ini, selengkap menu makan siangku nanti. Tapi, itulah balasan dari ketidakdisiplinanku. Sebenarnya sang sahabat sudah sering kali mengingatkanku agar selalu disiplin dalam hal apa pun. Tapi inilah aku, aku tak bisa menjadi orang lain seperti sang sahabat, dan orang lain belum tentu bisa menjadi sepertiku termasuk sang sahabat.
Dreng, drung, drung bel tanda istirahat pertama berbunyi. Seluruh siswa di dalam kelas berhamburan ke luar semacam itik kelaparan yang dibuangkan makan oleh tuannya. Namun, ku lihat sang sahabat tak berkutik apalagi bergerak. Aku pun menghampirinya bermaksud mengembalikkan buku yang sempat ku pinjam darinya kemarin. Tampaknya sang sahabat terlihat begitu bahagia. Asisten sang sahabat kemudian menegurku.
“Sang sahabat lagi bahagia.” kata asisten.
“Apa gerangan engkau berkata seperti itu?” tanyaku.
“Tahukah engkau, sang sahabat telah berhasil membawamu keliling Indonesia, tidakkah kamu menyadari?” kata asisten.
“Maksudnya apa?” tanyaku balik pada asisten.
“Kamu telah banyak membaca buku sang sahabat, buku yang kemarin kamu pinjam adalah buku terakhir tentang keberagaman Indonesia.” kata asisten.
“Jadi?” tanyaku.
“Jadi, sekarang kamu sudah tahu banyak tentang Indonesia, bahkan sampai ke pelosok-pelosoknya, itu berarti secara tidak langsung kamu telah berkeliling Indonesia.” jelas asisten.
“Benarkah? Aku tak pernah menyadarinya, tapi aku sangatlah bahagia. Dan…” aku mengakhiri perkataanku.
“Dan apa?” Tanya asisten.
“Sang sahabat pernah bilang, kalau ia akan membawaku untuk melihat Jepang, aku ingin sekali ke sana.” kataku dengan nada sedih.
“Belajarlah dahulu. Suatu saat nanti impianmu pasti terwujud, yakinlah!!!” Begitulah asisten meyakinkanku kalau aku pasti bisa melihat indahnya kota Jepang.
Aku kembali ke kelas dengan membawa sebuah buku baru yang kembali ku pinjam dari sang sahabat. Aku akan belajar seperti kata asisten agar secepatnya aku bisa melihat indahnya kota Jepang. Sepulang sekolah aku menyempatkan diri menemui sang sahabat walau hanya di ambang pintu, karena itulah waktu terakhir aku melihat sang sahabat sepulang sekolah, esok aku kembali menemuinya.
“Aneka Makanan Lembut.” itulah buku dari sang sahabat, cocok untukku yang sedang lapar. Ku pratekkan cara membuat kue lembut sesuai petunjuk dari buku. Hasilnya memang tak sama tapi enaknya melebihi dari gambar yang ada. Akhirnya satu resep pun berhasil, akan ku ceritakan hal ini pada sang sahabat, aku yakin sang sahabat pasti sangat bahagia.
Fajar kembali menemuiku dengan gairah segar kehidupan, ku mulai kembali aktivitas hari ini. Sebuah kendaraan beroda empat tapi bukan mobil avanza, Ayla, Honda Jazz apalagi mobil Lamborgini, tapi hanyalah sebuah bendi sederhana yang selalu mengantarku setiap kali ke sekolah dan menjemputku di saat pulang. Sesampainya di kelas, ternyata kelas sangat ramai, semuanya asyik bercerita entah ada apa lagi ini. Aku segera menghampiri salah seorang temanku yang terlihat sangat semangat bercerita. Yusi namanya.
“Ada apa, kok pagi-pagi ramai begini?” tanyaku.
“Ini ada info terbaru, pekan depan kita akan ujian massal.” Jawab Yusi.
“Oh. Kirain ada apa..” Kataku sambil duduk di kursiku.
“Ini saatnya ku buktikan pada sang sahabat.” gumamku dalam hati.
“Hey kok ngelamun ada apa?” kata Yusi.
“Eh nggak apa-apa kok, aku ke luar dulu yah, daaahh.” jawabku sambil berlari melambaikan tangan.
Aku berlari sekencang-kencangnya, untuk menemui sang sahabat. Setibanya di kelas sang sahabat, asisten segera menyapaku, di tengah-tengah aku berusaha mengumpulkan kembali napasku.
“Ada apa kamu ke sini? Kamu terlihat sangat bahagia.” kata Asisten.
Orang ngos-ngosan malah dikiranya bahagia. Dengan polosnya aku berkata.
“A..aa..kuu me..maangg lagii.. baa..haagiaa.” kataku sambil terbata-bata karena masih ngos-ngosan.
“Duduk sini! Biar aku ambilkan minum dulu.” kata asisten.
“Nggak usah. Aku ke sini cuma mau kasih tahu kalau pekan depan itu akan diadakan ujian massal. Apakah sang sahabat sudah tahu?” kataku dengan serius.
“Sang sahabat sudah tahu, makanya sang sahabat menyuruhku untuk menemuimu, tapi kamu malah datang sendiri.” kata asisten sambil tersenyum.
“Haa? tumben sang sahabat menyuruhmu menemuiku, ada apa memang?” tanyaku dengan nada sinis.
“Sang sahabat berpesan, kalau kamu harus belajar dengan baik, buktikan kalau kamu bisa!!! Jangan buat sang sahabat kecewa padamu, sang sahabat telah banyak meluangkan waktunya untukmu. Ingat pula, mintalah doa restu pada kedua orangtuamu, apalagi kepada Ibumu jangan buat orangtuamu ikut kecewa, berusahalah sebaik mungkin, dan berdoa kepada Tuhan. Yakinlah bahwa ketika kita sudah berusaha, pastilah Tuhan akan menunjukkan jalan, asalkan kejujuran kau junjung tinggi. Ingatlah perjuangan orangtuamu dalam menyekolahkanmu, tidakkah engkau merasa bersalah, ketika engkau gagal?” jelas asisten.
Dan tanpa ku sadari air mataku jatuh berlinang membasahi pipiku. Nasihat tadi bagaikan petir yang seketika menyambarku. Tubuhku terasa kaku, tak bisa digerakkan sedikit pun, seakan diriku mati seketika, namun asisten kembali lanjut bercerita.
“Oh ya kamu jangan sesekali mencoba untuk berbuat curang, ketahuilah kecurangan akan membuatmu menemui jurang kehancuran. Camkan baik-baik.” Kata asisten.
“Sampaikan ucapan terima kasihku pada sang sahabat, yang telah membangkitkan semangatku. Aku berjanji tidak akan membuat orangtua dan sahabatku kecewa padaku, karena itu sama saja aku membunuh diriku sendiri.” jawabku sambil menangis.
“Baguslah kalau kamu berpikir seperti itu. Dan ada satu lagi?” lanjut asisten.
“Apa lagi?” jawabku keheranan.
“Hapuslah air matamu itu, janganlah terlihat lemah di depan teman-temanmu.” Kata asisten. Aku hanya tersenyum menanggapinya dan berlari menjauh dari asisten sang sahabat.
Tak terasa waktu untuk ujian massal tiba. Waktu seakan dipercepat seratus persen dari sebelumnya, seandainya aku mampu mengulang waktu yang berlalu, mungkin tak akan terjadi yang namanya ujian massal. Namun, apa daya aku hanyalah manusia biasa yang digeluti seribu satu macam kekurangan.
“Jangan menyerah sahabatku kamu pasti bisa!!! Hadapi semua yang ada di depan dengan penuh rasa percaya diri. Ingatlah kedua orangtuamu, ingatlah mereka, demi mereka kamu harus bisa, jangan buat mereka kecewa, karena sepenuhnya harapan orangtuamu ada pada dirimu.” Kata-kata dalam mimpi itu membangunku dalam tidur lelapku. Meski mata ini masih terasa sangat berat untuk terbuka, namun ku paksakan mata ini untuk terbuka selebar dunia, berharap asa akan datang.
Dengan langkah penuh semangat aku berangkat ke sekolah menjalani ujian massal. Bermodal tekad yang kuat aku yakin kalau aku pasti bisa! Ketika si polos sang lembar jawaban dibagikan, jantungku berdetak kencang, apalagi saat si monster soal dibagikan aku terasa mati dihantam badai pasir, pikiranku jadi kacau namun aku berusaha menenangkan diri sebelum menjawab soal dan berdoa kepada sang Maha Pemberi Kemudahan.
Berhubung ujian hari ini adalah matematika, maka aku harus berpusing-pusing tujuh keliling, delapan tanjakan, sembilan belokan untuk mengeluarkan rumus-rumus jitu penakluk sang monster, dan berkat rumus-rumus itu akhirnya aku bisa menyelesaikan soal ujian hari ini. Setelah ujian seisi ruangan kosong, hanya ada aku seorang diri dan tak lama asisten datang menghampiriku.
“Gimana ujian matematikanya?” tanya asisten.
“Yah begitu.” jawabku dengan muka datar.
“Begitu bagaimana? Certain dong!!!” bujuk asisten.
“Maaf ya, jika kamu datang atas perintah sang sahabat, aku mohon beri tahu kepadanya kalau aku tak akan bercerita sebelum semuanya selesai.” Jawabku.
“Baiklah kalau itu maumu. Tapi, sang sahabat ingin mendengar berita bahagia darimu, ketika berita bahagia itu tiba, sang sahabat akan memberi hadiah.” Kata asisten menjelaskan.
“Benarkah apa yang kamu katakan barusan?” tanyaku dengan nada tergesa.
“Yah. Makanya belajarlah dengan baik. Sampai jumpa.” kata asisten sambil pergi meninggalkanku. Aku janji akan berusaha dengan baik agar bisa membuat orangtua dan sahabatku bahagia.
Hampir seminggu tidak bertemu sang sahabat, aku sangat rindu padanya, rindu dengan segala hal yang ada pada dirinya, aku sudah tidak sabar untuk menemuinya sehabis ujian terakhir hari ini. Ujian terakhir hari ini adalah ekonomi, pelajaran kesukaanku aku berharap bisa menjawab soalnya dengan baik. Dreng, drung, drung bel tanda ujian berakhir pun berbunyi. Aku segera mengumpulkan soal dan lembar jawabanku. Aku yang tadinya berencana menemui sang sahabat, tidak jadi karena suatu hal yang sangat mendesak untukku cepat pulang ke rumah.
Seminggu kemudian hasil ujiannya telah ke luar dan dipajang dengan lebarnya pada papan pengumuman. Ku lihat dan ku cermati baik-baik satu persatu nama dan akhirnya terlihat sebuah nama yang terpampang jelas berketerangan merah. Aku sangat kaget melihat hal itu aku tak menyangka akan seperti ini hasilnya. Aku gagal, aku gagal memenuhi janji pada orangtua dan sahabatku.
Bagaimana jika mereka tahu, aku tidak bisa membayangkan betapa marah dan kecewanya mereka terhadapku. Aku jatuh tersungkur di hadapan papan pengumuman itu, aku tak malu dilihat banyak orang, karena aku lebih malu kalau semua ini diketahui oleh sang sahabat. Aku menangis sekeras-kerasnya, air mataku tak dapat lagi ku bendung. Terlihat ada seseorang yang mengulurkan tangannya untukku.
“Bangunlah, jangan seperti ini.” kata orang itu. Aku segera bangkit dan ternyata itu adalah asisten.
“Asisten, kaukah itu?” tanyaku dengan masih berlinang air mata.
“Ya, sang sahabat ingin bertemu denganmu sekarang juga.” kata asisten.
“Tidak!!! Aku tidak mau bertemu sang sahabat. Sang sahabat pasti akan marah padaku.” Jawabku sambil menangis sejadi-jadinya.
“Pergilah saja dulu.” kata asisten. Tanpa sepatah kata yang ke luar dari mulutku, aku menuruti kata asisten. Setibanya di sana sang sahabat menghampiriku di depan pintu.
“Maafkan aku, aku belum bisa menepati janjiku, aku gagal dalam ujian kali ini.” ucapku sambil berlutut di depan sang sahabat. Tapi, sang sahabat tak juga bereaksi.
“Aku mohon maafkan aku.” ucapku lagi.
“Sang sahabat masih kecewa padamu, kau ke manakan semua ilmu yang sang sahabat beri selama ini?” tanya asisten.
“Maafkan aku, aku belum bisa membuat sang sahabat bahagia, aku mohon maafkan aku.” pintaku berulang kali pada sang sahabat. Tapi sang sahabat malah menangis.
“Asisten aku mohon! Berilah penjelasan pada sang sahabat, tolong maafkan aku.” ucapku lagi.
“Sang sahabat pasti akan memaafkanmu ketika suatu saat nanti engkau bangkit dari keterpurukanmu ini.” kata asisten.
“Jadi, bagaimana dengan hadiah yang ia janjikan padaku?” tanyaku.
“Mungkin sang sahabat belum bisa menepatinya.” jawab asisten.
“Jadi, kapan sang sahabat akan membawaku ke Jepang?” tanyaku.
“Suatu saat nanti bila engkau berhasil, dengan sendirinya kamu akan ke sana, tapi ingat jangan lupakan sahabatmu di sini.” jawab asisten.
“Tapi, aku ingin pergi bersamanya, bersamanya aku akan melihat Jepang.” ucapku setengah menangis.
“Dengan kamu ke sana, maka sang sahabat juga akan tetap ke sana mengikutimu, lewat kamulah sang sahabat pergi.” Jawab asisten.
“Belajarlah dengan baik, dengan ilmumu kamu akan melihat indahnya kota Jepang, lakukanlah!!! Demi kedua orangtua dan sahabatmu.” ucapnya lagi.
“Tapi, aku tidak bisa melakukan semua ini sendirian.” keluhku pada asisten.
“Kalau kamu mau dimaafkan, lakukanlah! Demi orangtua dan sahabatmu.” ucap asisten.
Tapi, aku masih tidak percaya kalau aku akan bisa menjalaninya tanpa bantuan sang sahabat. Berhari-hari aku berada dalam keterpurukan karena kegagalan yang aku alami. Aku sangat kecewa, aku tak pernah menyangka akan seperti ini jadinya padahal aku telah berusaha sekuat tenaga. “Ah, Tuhan memang tidak adil padaku, kenapa aku dibuat gagal seperti ini.” Hati ini menjadi gelisah, galau, dan gundah. Namun, aku heran pada kedua orangtuaku mengapa mereka malah menyemangatiku bukannya marah padaku. Ibu bapak tak henti-hentinya memberiku semangat, hingga aku benar-benar mampu berpijak kembali.
Sekolah kembali dimulai, hari itu sang sahabat tak datang ke sekolah. Aku mengerti akan hal itu pasti sang sahabat masih kecewa padaku. Tapi, kenapa dia tak bisa menghilangkan rasa kekecewaannya itu? Apakah menghilangkan kekecewaan itu susah? Dan apakah memaafkan seseorang itu juga susah? Seribu satu macam pertanyaan ada dalam benakku hanya waktulah yang dapat menjawab semuanya.
“SMA Tunas Bangsa, SMA terbaik seprovinsi Sulselbar. Agar mempersiapkan diri karena akan diadakan seleksi pemilihan siswa terbaik dan yang terpilih akan berangkat untuk pelaksanaan pertukaran pelajar ke Jepang.” Begitulah berita harian utama Koran Sindo. Aku yang membaca berita itu kaget namun sedikit bahagia karena aku menemukan setitik cahaya untuk mewujudkan impianku selama ini. Pagi-pagi sekali aku menemui sang sahabat namun sang sahabat belum datang. Aku pun memperlihatkan berita itu pada asisten.
“Ide yang bagus! Kamu harus belajar dengan baik jangan sampai kamu gagal, kamu harus terpilih dalam seleksi ini!!” kata asisten.
“Tapi aku tak begitu yakin dengan kemampuanku. Akan ku lupakan dan ku kubur dalam-dalam mimpi itu.” jawabku.
“Jangan! Jadikanlah ini sebagai hadiah untuk sang sahabat, karena aku yakin berita ini pasti belum diketahui olehnya.” ucap asisten.
“Kenapa kau begitu yakin dengan ini semua?” tanyaku.
“Aku yakin!!! Karena kau tak bisa diragukan. Aku tahu kau pernah gagal, tapi bukan karena kita sudah gagal kita sudah tidak mau berusaha untuk berhasil. Orang hebat itu bukanlah dia yang berhasil, tapi orang hebat itu adalah dia yang pernah gagal dan bangkit lagi.” Yakin asisten.
“Cobalah, jangan ragu!” ucapnya lagi. Aku mengangguk mendengar pencerahan asisten pagi itu.
Hari demi hari aku berusaha belajar dengan baik, semua refensi pembelajaran ku pakai, tak terkecuali buku-buku sang sahabat. Hingga tibalah saat yang aku tunggu-tunggu waktu penyeleksian siswa perwakilan pertukaran pelajar. Aku berharap tesnya berjalan lancar dan membuahkan hasil yang memuaskan. Dua jam setelah tes hasil akhirnya pun diumumkan di hadapan semua calon siswa pertukaran pelajar, kepala sekolah sendiri yang akan mengumumkan hasilnya.
“Hari ini adalah hari yang sangat, dan pastinya sangat ditunggu-tunggu tak terkecuali saya sendiri. Dan langsung saja saya umumkan yang lolos seleksi tahun ini adalah selamat kepada ananda Deanda Reisya Ranaya Bakri.” dengan lantang nama itu disebutkan, aku langsung sujud syukur. Aku tak menyangka namaku disebutkan dan secara resmi akulah sebagai siswa yang diutus untuk pertukaran pelajar ke Jepang. Akhirnya mimpiku untuk melihat indahnya kota Jepang terwujud.
Semua ini berkat usahaku yang tak henti-henti dan doa kedua orangtua, dukungan sang sahabat dan asisten, serta berkat buku-buku yang aku pinjam di perpustakaan sekolah selama ini yang ku jadikan sebagai sang sahabat sejatiku. Terima kasih sahabatku engkau telah menepati janjimu padaku, kini aku berhasil melihat indahnya Jepang dan bukan hanya itu, berkat membaca buku-buku dari perpustakaan, dunia kini berada dalam genggamanku.
“Dari sekian banyak ilmu yang engkau beri kepadaku, hanya inilah balasan yang dapat aku lakukan padamu, kau akan selalu ku kenang dalam raga dan jiwa ini.” Gumamku dalam hati.
Terima kasih perpustakan sebagai sang sahabatku, engkau selalu ada dalam jiwa ini, terima kasih pula atas segenap waktumu untukku.